Kategori
Edukasi Hukum

Jerat Hukum Prostitusi ?

Dalam kasus prostitusi dikenal adanya istilah PSK ( Pekerja Seks Komersial ) yakni yang menyediakan jasa seksual, adapula pelanggan/pengguna PSK yakni pihak yang melakukan transaksi sebagai penerima jasa seksual, dan Mucikari yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni induk semang bagi perempuan lacur atau yang dikenal germo yang kemudian dikenal sebagai perantara, pemilik pekerja seks komersial, yang memfasilitasi adanya prostitusi.

Maraknya prostitusi membuat sebagian masyarakat bertanya-tanya sejauh mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai prostitusi ? Sebab, prostitusi dianggap sebagai hal yang melanggar dari norma yang tumbuh di masyarakat.

Bagaimana sudut pandang hukum pidana dalam kasus prostitusi ? Apakah ancaman hukum diberikan kepada ketiga pihak tersebut ? yakni pada PSK, pelanggan/pengguna PSK, dan Mucikari.

Pada artikel jerat hukum prostitusi menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana, dalam kasus prostitusi yang dapat dikenai hukuman adalah Mucikari karena menjadi perantara atau penghubung antara PSK dengan pelanggan/pengguna PSK.

Hal ini  merujuk pada pasal 296 KUHP jo pasal 506 KUHP

Pasal 296 KUHP

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh oranglain dengan oranglain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Jo ( Juncto ) = berkaitan dengan, bertalian dengan

Pasal 506 KUHP

“Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Dengan begitu, berdasarkan dua pasal diatas dapat dikatakan dalam kasus prostitusi hanya mucikari yang akan mendapatkan jeratan sanksi pidana, sedangkan bagi PSK dan pelanggan/pengguna PSK hingga sampai saat ini belum ada aturan dalam KUHP sehingga tidak bisa dijerat hukum.

Tentunya ini berbeda dengan konteks prostitusi online yang muatannya mencakup Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dan dengan konteks Perzinahan yang muatannya mencakup pasal 284 Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP).

Jika masih belum memahami mengenai prosedur pelayanan kami ingin didampingi oleh kuasa hukum/pengacara kerena dengan beberapa kesibukannya, bisa hubungi kami di Hp/Whatsapp 081225341799 / 081225342088

Perdamaian Dalam Transformasi HAM ?

Setiap kali anda menemukan konflik dengan orang lain, ada satu faktor yang dapat membangun perbedaan, faktor tersebut dapat merusak hubungan atau malah memperdalam hubungan, faktor itu adalah sikap (William James).

Negara menurut Thomas hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa Negara dibutuhkan peranannya yang besar agar mampu mencegah adanya homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainya). Hobbes memunculkan teori ini karena dimasanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya Negara untuk mencegahnya.

Konsep HAM dapat dilihat secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan yang maha esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya dimiliki tuhan.

Apa Itu HAM ?

Hak Asasi Manusia disingkat HAM pada hakikatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga Negara dari penindasan, pemasungan, dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Artinya ada pembatasan-pembatasan tertentu yang dilakukan oleh Negara atas hak-hak warga Negara yang paling hakiki agar terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.

Konsep HAM yang diatur dalam Pasal 28 1 ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan konvensi-konvensi jenewa dan protokol tambahannya merupakan norma hukum yang digunakan untuk menjamin HAM yang merupakan pemberian tuhan yang esa, yang melekat pada diri manusia dan tidak boleh dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

Oleh karena itu, batasan tentang HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa serta merupakan anugerah-nya wajib dihormati, dijungjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia,

Konsep HAM dilihat dari dimensi visi, mencakup (1) filsafat (2) yuridis-konstitusional (3) politik

  1. Filsafat sebagaian besar dari teologi agama-agama yang menempatkan jati diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai mahkluq tuhan.
  2. Yuridis konstitusional mengaitkan pemahaman hak asasi manusia dengan tugas, hak, wewenang, dan tanggung jawab Negara sebagai suatu nation-state
  3. Politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari-hari pada umunya berwujud pelanggaran HAM, baik oleh sesama warga masyarakat yang lebih kuat maupun oknum-oknum pejabat pemerintah

Berdasarkan beberapa rumusan HAM diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok HAM

  1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis
  2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan bangsa
  3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak org lain. Setiap orang tetap mempunyai HAM.

Jika masih belum memahami mengenai prosedur pelayanan kami ingin didampingi oleh kuasa hukum/pengacara kerena dengan beberapa kesibukannya, bisa hubungi kami di Hp/Whatsapp 081225341799 / 081225342088